Oleh: Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
kemenag.go.id| Ramadhan telah datang. Kita selalu menantinya karena bulan ini amat
istimewa. Setiap harinya bertabur berkah. Waktu demi waktunya menawarkan
harapan tak terperikan. Sepanjang siang dan malamnya terdapat
pembebasan dari api neraka dan doa yang akan dikabulkan. Belum lagi ada
lailatul qadar, malam yang lebih mulia daripada seribu bulan. Pada malam
itu maghfirah turun melimpah dan pahala amal dilipatgandakan tercurah
ruah.
Kita lantas menyambutnya dengan ucapan yang terus berulang:
Marhaban Ya Ramadhan. Bahkan jauh hari sebelumnya kita pun memanjatkan
doa: Ya Allah pertemukanlah aku dengan Ramadhan. Jadikan amal ibadahku
pada bulan ini diterima di sisi-Mu.
Namun, benarkah kita sungguh
siap menyambut Ramadhan? Nyatanya, setiap kali ia hadir terkadang kita
masih ribet dengan urusan sana-sini. Sibuk dengan berbagai rutinitas
seolah tiada beda dengan bulan-bulan yang lain. Ribut dengan sesama
sampai lupa bahwa kita perlu berjeda.
Sampai titik ini, kita sesungguhnya mengucapkan, "Maafkan aku Ya Ramadhan. Aku tak sempat menyambutmu."
Kalaupun
ada penyesuaian kegiatan bernuansa Ramadhan, tetap saja miskin dari
orientasi ukhrawi. Silaturahim rajin dilaksanakan lebih demi menjaga
relasi. Buka puasa bersama digelar untuk ajang berbincang duniawi.
Shalat tarawih hanya dijalankan dalam bilangan hari. Selebihnya
tenggelam dalam hiruk pikuk menyongsong Idul Fitri. Begitu Ramadhan
pergi, tak kunjung nampak perbaikan diri.
Lagi-lagi, terpaksa keluar kata, "Maafkan aku wahai Ramadhan. Kehadiranmu tak kusadari." Padahal
Ramadhan adalah momentum terbaik untuk memperbaiki diri. Allah SWT
mewajibkan kaum beriman untuk berpuasa agar mereka dapat berubah jadi
lebih baik. Tersirat dari makna Surat Al Baqarah 183-186, setidaknya ada
tiga kinerja kaum beriman yang dapat dicapai melalui puasa. Yaitu,
menjadi orang yang bertakwa, hidup penuh rasa syukur, dan tetap setia
dalam kebenaran.
Ramadhan adalah bulan muhasabah. Saat tepat untuk
mengevaluasi perjalanan hidup selama 11 bulan terakhir. Marilah kita
mulai hal itu dengan sederet pertanyaan. Sudahkah kita beragama dengan
baik dan benar? Baik dalam arti menjadikan agama sebagai jalan meniti
kebaikan serta menabur kebajikan. Benar dalam arti tidak menyimpang dari
sumber-sumber pokok ajaran agama. Atau kita menyelewengkan simbol agama
untuk tujuan tak mulia?
Sepanjang tahun, esensi agamayakni
memanusiakan manusiamungkin sering kita lupakan. Maka, pada momen ini
kita kembali bertanya pada diri sendiri. Apakah dalam menjalankan ajaran
Islam, kita telah benar-benar dalam rangka menebarkan rahmat bagi alam
semesta?
Apakah kita telah dan akan terus berupaya melindungi dan
menjaga harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan sesama kita dalam
beragama? Ataukah dalam ber-Islam kita justru telah merendahkan atau
bahkan meniadakan sisi-sisi kemanusiaan kita sendiri. Jawaban atas
pertanyaan itu akan menentukan sampai mana kita mampu kembali ke
jatidiri kemanusiaan yang suci. Sejauh mana kita mampu meneladani Sang
Nabi, sosok paling manusiawi di muka bumi.
Ramadhan kali ini kita
memang perlu lebih banyak bertanya agar tak salah langkah dalam
berpuasa. Puasa kita bakal sia-sia jika hanya menahan mulut dari makan
dan minum semata. Puasa harus pula mencegah diri dari perbuatan maksiat
dan perkataan hina. Sembari membersihkan diri, marilah kita hindari
informasi hoax, kebohongan, caci maki, fitnah, provokasi, pornografi,
dan sejenisnya yang dapat menodai kemuliaan bulan suci.
Sebaliknya,
marilah kita memperkuat iman disertai kesadaran tentang makna
kemanusiaan. Marilah merajut kembali persaudaraan dan persahabatan agar
sadar bahwa kita tidak sendirian hidup di dunia. Semoga dengan cara ini,
dosa-dosa kita diampuni dan negeri ini diberkahi.
Selamat
bermuhasabah dan beribadah di bulan yang penuh magfirah. Jangan sampai
ketika ia telanjur pergi, kita lagi-lagi tak sanggup membendung kata,
"Maafkan aku Ya Ramadhan."
0 komentar:
Posting Komentar